Sebagaimana
diketahui menggunaan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan
dalam Islam tidak hanya dijumpai dalam bidang filsafat Islam, tetapi juga dalam
bidang ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqih, dan sains. Untuk itulah di bawah ini
akan dijelaskan hubungan antara Filsafat dan Ilmu-ilmu keislaman lainnya.
1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
Kalam dalam
bahasa Arab dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan. Dalam ilmu kebahasaan,
kalam ialah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti.
Sementara dalam ilmu agama, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah.
Kemudian kata ini menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut
dengan ilmu kalam. Diantara alasan yang dimajukan, ialah sebagai berikut.
Ø Persoalan terpenting yang
menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijriah ialah firman Allah Alqur’an
sebagai salah satu sifatNya, apakah kadim, tidak diciptakan, atau hadits
(baru), diciptakan? (harap dibedakan kata hadits lawan dari kadim, dengan
hadits: perkara, ucapan, ketetapan dan sifat Nabi Muhammad Saw).
Ø Dasar-dasar ilmu kalam ialah
dalil-dalil akal (rasio). Kaum teolog atau mutakallimin menetapkan pokok
persoalan dengan mengemukakakan dalil akal terlebih dahulu, setelah tuntas baru
mereka kembali pada dalil naqli (Al-quran dan Haddits).
Ø Cara pembuktian
kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat.
Dengan demikian ilmu kalam merupakan salah satu ilmu
keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat islam dalam merumuskan kaidah
Islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat. Atas dasar-dasar pemikiran di
atas itulah, di antara penulis-penulis islam seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, Renan dalam bukunya Ibnu Rusyd wa al-Rusydiyah memasukkan
ilmu kalam ke dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Hal ini disebabkan mereka
melihat bahwa antar kedua disiplin ilmu keislaman ini terdapat hubungan yang
sangat erat dan masalah-masalah yang dibicarakan antara keduanya sudah
bercampur sehingga sulit dibedakan.
2. Filsafat Islam dan Tasawuf
Tasawuf berasal
dari kata sufi yakni sejenis kain wol
kasar yang terbuat dari bulu yang dipakai oleh orang-orang yang sederhana,
namun berhati suci dan mulia. Menurut Al-‘Iraqi, tasawuf dalam Islam baik yang
suni maupun yang falsafi termasuk dalam ruang lingkup filsafat Islam secara umum.
Menurutnya, hal ini disebabkan kaum sufi mempergunakan logika dalam mempelajari
al-hulul, wahdat al-wujud, al-baqa’ dan al-fana’.
Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini terdapat perbedaan-perbedaan sebagai
berikut:
Ø Filsafat memandang dengan
mata akal dan mengikuti metode argumentasi dan logika. Sementara Tasawuf
menempuh jalan mujahadah (Pengekangan
hawa nafsu) dan Musyahadah (pandangan
batin), jadi kaum filosof adalah prmilik argumentasi dan kaum sufi pemilik
intuisi dan perasaan batin.
Ø Objek Filsafat membahas
segala yang ada (al-maujudat), baik
fisika maupun metafisika, termasuk di dalamnya Allah SWT, alam dan manusia yang
meliputi tingkah laku, akhlak, dan politik. Sementara objek tasawuf pada
dasarnya mengenal Allah, baik dengan jalan ibadah maupun dengan jalan ilham dan
intuisi.
Ø Adanya saling kritikantara
kaum sufi dan kaum Filosof Islam, seperti kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat
dan kritik Ibnu Rusyd terhadap tasawuf. Ia mengatakan bahwa metode penalaran
intelektual dan ada dugaan bahwa makrifat kepada Allah akan hakikat-hakikat
wujud lain adalah sesuatu yang dijatuhkan ke dalam jiwa manusia ketika yang
bersangkutan bersih dari rintangan-rintangan hawa nafsu.
Jelas bahwa tasawuf Islam secara umum dapat dikelompokkan
dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Adapun letak perbedaan antara keduanya
hanya dari sisi objek dan metodenya.
3. Filsafat Islam dan Ushul
Fiqih
Ushul Fiqih
adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah dan bahasa yang dijadikan acuan dalam
menetapkan hukum syari’at mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil
secara detail. Dengan ringkas kata, ushul fiqih adalah ilmu tentang dasar-dasar
hukum dalam islam. Selain itu , ilmu Ushul Fiqih dalam menetapkan hukum
syari’at juga menggunakan pemikiran filosofis, bahkan cenderung mengikuti ilmu
logika dengan cara, memberikan definisi-definisi terlebih dahulu.
Dalam memahami
dan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum diperlukan
ijtihad. Ijtihad adalah salah satu usaha untuk mengeluarkan ketentuan hukum
dengan mempergunakan akal fikiran. Karena pentingnya, ijtihad ini dimasukkan
menjadi sumber ketiga dari hukum Islam setelah Alquran dan hadits sebagai
landasan dasar berpegang pada ijtihad ialah hadits Nabi Muhammad Saw.
Disamping
ijtihad, dikenal pula istilah al-ra’y, yang
biasa diterjemahkan dengan akal atau pikiran. Dalam istilah hukum al-ra’y adalah bersandar dan bergantung
semata pada pendapat akal dalam menentukan hukum syari’at ketika nash hukumnya
dalam Alquran dan hadits. Inilah dipakai sebagian ulama fiqih dalam menetapkan
hukum.
Disamping ijtihad
dan al-ra’y dikenal pula istilah al-qiyas atau analogi yang mengandung
arti mengukur sesuatu dengan ukuran tertentu. Sementara itu, dalam istilah
Ushul Fiqih berarti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan hukum sesuatu yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar persamaan ‘illat (sebab). Dalam menentukan persamaan ini diperlukan
pemikiran, seperti haramnya khamar, minuman keras yang yang dibuat dari bahan
anggur atas dasar ‘illat (sebab) memabukkan. Adapun minuman keras lain, sekalipun
dibuat dari bahan yang berbeda dari khamar karena memabukkan, atas dasar qiyas atau analogi, maka hukumnya haram.
Haramnya minuman keras selain khamar yang tidak ada nash hukumnya disamakan
dengan haramnya khamar yang ada nash hukumnya dalam Alquran.
Berdasarkan
argumentasi di atas itulah, maka Ushul Fiqih dimasukkan ke dalam ruang lingkup
Filsafat Islam. Namun secara spesifik, antara kedua disiplin ilmu ini terdapat
perbedaan-perbedaan. Ushul Fiqih secara khusus adalah ilmu syariat yang berdiri
atas dasar agama, sedangkan objeknya menetapkan dalil bagi hukum dan menetapkan
hukum bagi dalil.
4. Filsafat Islam dan Sains
Dari uraian
terdahulu dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat Islam
denagn ilmu kalam, tasawuf, dan ushul fiqih. Hubungan yang serupa terjadi pula
antara filsafat Islam dan sains. Sebagaimana diketahui, filsafat merupakan satu
ilmu yang mencakup seluruh lapangan ilmu pengetahuan, baik yang teoretismaupun
praktis. Kenyataannya ini dapat disaksikan dalam temuan-temuan yang dihasilkan
oleh filosof-filosof Islam sendiri, seperti Al-Kindi ahli ilmu pasti dan ahli
falak yang tersohor, begitu pula ilmuwan lainnya, seperti Ali Al-Hasan ibnu
Haitam (965-1038M) menemukan ilmu pasti, Abu Musa Jabir ibnu Hayyan (700-777M)
dalam bidang kimia, Abu Raihan ibnu Ahmad Al-Baruni(973-1051M) dalam bidang
ilmu falak.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa setiap filosof adalah ilmuwan, karena filsafat berdiri
atas dasar ilmu pasti dan ilmu alam. Akan tetapi tidak semua ilmuwan adalah
filosof.
Pada masa peradaban Islam
mencapai kejayaannya, ketika itu antara filsafat, sains dan agama berbaur
menjadi satu sehingga saling mempengaruhi. Akan tetapi, perkembangan filsafat
bagi orang yang datang belakangan (setelah abad ke-6 H), amat disayangkan mereka
telah merasa puas dengan membahas dan mengulas masalah-masalah filsafat saja
tanpa berpijak pada dasr ilmu yang melandasinya (ilmu pasti dan alam).
Akibatnya, terputuslah hubungannya antara filsafat dan sains, bagaikan kepala
tanpa badan dan tubuh tanpa roh. Kemudian, hubungan keduanya mulai rukun
setelah Timur kembali mengambil sains. Namun saaat ini, konfrontasi yang
dirasakan bukan lagi antara filsafat dan sains, melainkan antara filsafat dan
agama. Hal inilah, menurut Al-Ahwaniy, salah satu penyebab yang menjadikan
filsafat Islam berubah menjadi filsafat skolastik yang kering dan gersang,
akhirnya hanya tinggal agama.