Minggu, 08 Desember 2013

Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Keislaman lainnya.

03.33 Posted by luthfilaziman93@blogspot.com No comments


Sebagaimana diketahui menggunaan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dalam Islam tidak hanya dijumpai dalam bidang filsafat Islam, tetapi juga dalam bidang ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqih, dan sains. Untuk itulah di bawah ini akan dijelaskan hubungan antara Filsafat dan Ilmu-ilmu keislaman lainnya.
1.      Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
Kalam dalam bahasa Arab dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan. Dalam ilmu kebahasaan, kalam ialah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti. Sementara dalam ilmu agama, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah. Kemudian kata ini menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut dengan ilmu kalam. Diantara alasan yang dimajukan, ialah sebagai berikut.
Ø  Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijriah ialah firman Allah Alqur’an sebagai salah satu sifatNya, apakah kadim, tidak diciptakan, atau hadits (baru), diciptakan? (harap dibedakan kata hadits lawan dari kadim, dengan hadits: perkara, ucapan, ketetapan dan sifat Nabi Muhammad Saw).
Ø  Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil akal (rasio). Kaum teolog atau mutakallimin menetapkan pokok persoalan dengan mengemukakakan dalil akal terlebih dahulu, setelah tuntas baru mereka kembali pada dalil naqli (Al-quran dan Haddits).
Ø  Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat.
Dengan demikian ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat islam dalam merumuskan kaidah Islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat. Atas dasar-dasar pemikiran di atas itulah, di antara penulis-penulis islam seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, Renan dalam bukunya Ibnu Rusyd wa al-Rusydiyah memasukkan ilmu kalam ke dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Hal ini disebabkan mereka melihat bahwa antar kedua disiplin ilmu keislaman ini terdapat hubungan yang sangat erat dan masalah-masalah yang dibicarakan antara keduanya sudah bercampur sehingga sulit dibedakan.
2.      Filsafat Islam dan Tasawuf
Tasawuf berasal dari kata sufi yakni sejenis kain wol kasar yang terbuat dari bulu yang dipakai oleh orang-orang yang sederhana, namun berhati suci dan mulia. Menurut Al-‘Iraqi, tasawuf dalam Islam baik yang suni maupun yang falsafi termasuk dalam ruang lingkup filsafat Islam secara umum. Menurutnya, hal ini disebabkan kaum sufi mempergunakan logika dalam mempelajari al-hulul, wahdat al-wujud, al-baqa’ dan al-fana’. Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini terdapat perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
Ø  Filsafat memandang dengan mata akal dan mengikuti metode argumentasi dan logika. Sementara Tasawuf menempuh jalan mujahadah (Pengekangan hawa nafsu) dan Musyahadah (pandangan batin), jadi kaum filosof adalah prmilik argumentasi dan kaum sufi pemilik intuisi dan perasaan batin.
Ø  Objek Filsafat membahas segala yang ada (al-maujudat), baik fisika maupun metafisika, termasuk di dalamnya Allah SWT, alam dan manusia yang meliputi tingkah laku, akhlak, dan politik. Sementara objek tasawuf pada dasarnya mengenal Allah, baik dengan jalan ibadah maupun dengan jalan ilham dan intuisi.
Ø  Adanya saling kritikantara kaum sufi dan kaum Filosof Islam, seperti kritik Al-Ghazali terhadap Filsafat dan kritik Ibnu Rusyd terhadap tasawuf. Ia mengatakan bahwa metode penalaran intelektual dan ada dugaan bahwa makrifat kepada Allah akan hakikat-hakikat wujud lain adalah sesuatu yang dijatuhkan ke dalam jiwa manusia ketika yang bersangkutan bersih dari rintangan-rintangan hawa nafsu.
Jelas bahwa tasawuf Islam secara umum dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Adapun letak perbedaan antara keduanya hanya dari sisi objek dan metodenya.
3.      Filsafat Islam dan Ushul Fiqih
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah dan bahasa yang dijadikan acuan dalam menetapkan hukum syari’at mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil secara detail. Dengan ringkas kata, ushul fiqih adalah ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam islam. Selain itu , ilmu Ushul Fiqih dalam menetapkan hukum syari’at juga menggunakan pemikiran filosofis, bahkan cenderung mengikuti ilmu logika dengan cara, memberikan definisi-definisi terlebih dahulu.
Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad. Ijtihad adalah salah satu usaha untuk mengeluarkan ketentuan hukum dengan mempergunakan akal fikiran. Karena pentingnya, ijtihad ini dimasukkan menjadi sumber ketiga dari hukum Islam setelah Alquran dan hadits sebagai landasan dasar berpegang pada ijtihad ialah hadits Nabi Muhammad Saw.
Disamping ijtihad, dikenal pula istilah al-ra’y, yang biasa diterjemahkan dengan akal atau pikiran. Dalam istilah hukum al-ra’y adalah bersandar dan bergantung semata pada pendapat akal dalam menentukan hukum syari’at ketika nash hukumnya dalam Alquran dan hadits. Inilah dipakai sebagian ulama fiqih dalam menetapkan hukum.
Disamping ijtihad dan al-ra’y dikenal pula istilah al-qiyas atau analogi yang mengandung arti mengukur sesuatu dengan ukuran tertentu. Sementara itu, dalam istilah Ushul Fiqih berarti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hukum sesuatu yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar persamaan ‘illat (sebab).  Dalam menentukan persamaan ini diperlukan pemikiran, seperti haramnya khamar, minuman keras yang yang dibuat dari bahan anggur  atas dasar ‘illat (sebab) memabukkan. Adapun minuman keras lain, sekalipun dibuat dari bahan yang berbeda dari khamar karena memabukkan, atas dasar qiyas atau analogi, maka hukumnya haram. Haramnya minuman keras selain khamar yang tidak ada nash hukumnya disamakan dengan haramnya khamar yang ada nash hukumnya dalam Alquran.
Berdasarkan argumentasi di atas itulah, maka Ushul Fiqih dimasukkan ke dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Namun secara spesifik, antara kedua disiplin ilmu ini terdapat perbedaan-perbedaan. Ushul Fiqih secara khusus adalah ilmu syariat yang berdiri atas dasar agama, sedangkan objeknya menetapkan dalil bagi hukum dan menetapkan hukum bagi dalil.
4.      Filsafat Islam dan Sains
Dari uraian terdahulu dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat Islam denagn ilmu kalam, tasawuf, dan ushul fiqih. Hubungan yang serupa terjadi pula antara filsafat Islam dan sains. Sebagaimana diketahui, filsafat merupakan satu ilmu yang mencakup seluruh lapangan ilmu pengetahuan, baik yang teoretismaupun praktis. Kenyataannya ini dapat disaksikan dalam temuan-temuan yang dihasilkan oleh filosof-filosof Islam sendiri, seperti Al-Kindi ahli ilmu pasti dan ahli falak yang tersohor, begitu pula ilmuwan lainnya, seperti Ali Al-Hasan ibnu Haitam (965-1038M) menemukan ilmu pasti, Abu Musa Jabir ibnu Hayyan (700-777M) dalam bidang kimia, Abu Raihan ibnu Ahmad Al-Baruni(973-1051M) dalam bidang ilmu falak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap filosof adalah ilmuwan, karena filsafat berdiri atas dasar ilmu pasti dan ilmu alam. Akan tetapi tidak semua ilmuwan adalah filosof.
Pada masa peradaban Islam mencapai kejayaannya, ketika itu antara filsafat, sains dan agama berbaur menjadi satu sehingga saling mempengaruhi. Akan tetapi, perkembangan filsafat bagi orang yang datang belakangan (setelah abad ke-6 H), amat disayangkan mereka telah merasa puas dengan membahas dan mengulas masalah-masalah filsafat saja tanpa berpijak pada dasr ilmu yang melandasinya (ilmu pasti dan alam). Akibatnya, terputuslah hubungannya antara filsafat dan sains, bagaikan kepala tanpa badan dan tubuh tanpa roh. Kemudian, hubungan keduanya mulai rukun setelah Timur kembali mengambil sains. Namun saaat ini, konfrontasi yang dirasakan bukan lagi antara filsafat dan sains, melainkan antara filsafat dan agama. Hal inilah, menurut Al-Ahwaniy, salah satu penyebab yang menjadikan filsafat Islam berubah menjadi filsafat skolastik yang kering dan gersang, akhirnya hanya tinggal agama.

Jumat, 06 Desember 2013

Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani

07.29 Posted by luthfilaziman93@blogspot.com No comments


Mengkaji hubungan filsafat islam dengan filsafat yunani dapat dikatakan “gampang-gampang susah”. Kesulitan terletak pada titik perbedaan yang nyata,yaitu doktrin keimanan. Kemudahan dapat ditelusuri dari aspek sejarah kelahiran kedua ilmu tersebut.Untuk itu,dalam pembahasan ini,kita akan mencoba menguraikan pola hubungan kedua ilmu tersebut, paling tidak,secara garis besar terjadinya hubungan itu akibat sejarah dan doktin keagamaan.
1.Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani:
    Kajian Historis.
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran filsafatIslam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahannaskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa Klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Baghdag, Irak lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabidan Louis Ma’lul menguraikan bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama 9132-232 H / 750-847M). ilmu ini kedunia islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat yunani yang telah tersebar di daerah-daerah laut putih seperti ; Iskandaria, Anhakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmunyang dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/ 813 – 833M) dan mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantium yang beribu kota di Konstatinopel, yang juga dikenal kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat. Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan  sekalipun dari bahasa suryani. Kegiatan penerjemah ini disertai pula dengan urain dan penjelasan seperlunya. Para cendekiawan ketike itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filusuf muslim di atas bersentuhan dengan penafsiran Alquran. Al-kindi,misalnya, yang dikenal sebagai bapak filusuf muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Alquran dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional bahkan filosofis. Al-kindi berpendapat bahwa Alquran mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya. Ajakan ini seruan untuk berfilsafat seperti halnya Al-kindi, Ibnu Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa tujuan berfilsat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukan jalan yang benar bagi kehidupan praktis
            Pengaruh khas neoplatonisme dalam dunia pemikiran islam, seperti yang kala muncul dengan jelas dalam berbagai paham tassawuf. Ibnu sina, dapat dikatakan sebagai neoplatonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani menuju tuhan seperti yang di muat dalam kitabnya, Isharat. Memang,neplatonisme yang spiritualistic itu banyak mendapatkan jalan masuk kedalam ajaran-ajaran sufi, dan yang paling menonjol adalah yang ada dalam ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka ikhwan ash-Shafah.
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar aristoteanisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum muslimin banyak memanfaatkan metode berrfikir logis menurut logika formal (logisme) aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jaunya pengaruh ajaran aristoteles ini yang populernya ilmu mantiq di kalangan umat islam.
            Akan tetapi, mustahil melihat filsafat islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dank arena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal, Istbat An-Nubuwat. Pra filusuf muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penulusuran berpikir yang ditopang sejatinya oleh Al-quran sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bawhwa sumber Alquran secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Alquran sebagai desain besar Allah SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisinalitas filsafat Islam, apakah ia mengekor atas pelopor.
Tidak adanya orisinalitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab , para filusuf klasik Islam, betapa pun pengembara intelektualnya adalah orang-orang yang religious. Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau meragukan agama. Para filusuf muslim klasik ini berfilsafat  tetap karena dorongan keagaman, malahan seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-bats yang masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri, bagi mereka, telah cukup rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat ini. Ini ditambah lagi dengan polemik-polemik yang amat mendasar dan mendalam antara para filsuf dan ulama keagamaan, seperti yang terjadi secara posthumous antara Al-Ghazali (wafat 1111) dan Ibn Rusyd (wafat 1198). Polemik itu merupakan salah satu debat yang paling berpengaruh dan mengasyikkan dalam sejarah pemikiran agama.
Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mu’im bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat, berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian, orang Arablah yang memberikan keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “sekarang kita mengikuti jalannya filsafat Hellenis. Dari Yunani, ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama. Kemudian , ia berjalan dari orang-orang syiria ke dalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke tengah-tengah dunia barat”.
Sampai di sini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsaf Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.
2.Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani  kajian Doktrin.
            Ajakan al qu’ran untuk berfilsafat, seperti yang diungkapkan oleh kedua filsuf muslim diatas, jika ditelusuri di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, memang banyak yang menyatakan demikian, di antaranya Allah berfirman yang artinya :
“sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yanngAllah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu, Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia tebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kesanaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkannya.’’ (Q.S. Al-Baqarah (2): 164)

“Dan dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agara kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungghnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami) keada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An’am (6): 97)

“Alif laam miim raa.Ini adalah ayat-ayat Al-kitab (Al-qur’an). Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (Q.S. Ar-Ra’ad (13): 1)
            Uraian Al-Qur’an diatas menjelaskan bahwa ajaran Islam,akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,tetapi juga dalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih tinggi dari pada wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikiran Islam, baik dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih , akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak menentang wahyu.Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecendrungan dan kesanggupan pemberi interprestasi.

Prinspi-Prinsip Dakwah

07.27 Posted by luthfilaziman93@blogspot.com 1 comment


1.      Mencari Titik Temu atau Sisi Kesamaan
Pola dakwah Rasulullah sebelum tiba masanya hijriah, tidak pernah menyeru umatnya sendiri atau ahli kitab dengan sebutan orang-orang kafir, musyrik atau munafik, melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya yaa ayyuhan naas “wahai manusia” atau ya qoumii, “wahai kaumku”. Bahkan untuk orang-orang munafik, sebelum jatuhnya kota Makkah Nabi SAW.menggunakan panggilan yaa ayyuhal ladziina aamanuu, “hai orang-orang yang beriman”,dan sama sekali tidak pernah mengungkapkan secara terang-terangan kemunafikan mereka dengan menggunakan panggilan yaa ayyuhal munafiqun. “Hai orang munafiq”. Akan tetapi, setelah sekian lama berdakwah dengan kelembutan dan ayat Ilahi sia-sia menjelaskan kebenaran kepada mereka dan mereka tidak saja menolak kebenaran, tetapi hingga bersepakat untuk membunuh Rasulullah. Baru Rasulullah menyeru dengan kata-kata tegas dan jelas.  “Hai orang-orang kafir” dan menyatakan berlepas tangan dari mereka dan agama mereka. “Katakanlah orang-orang kafir… bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” ­­1
Contoh lain dari model titik temu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.dengan para ahli kitab terdapat dalam surah Ali Imran : 64 :

 Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

2.      Menggembirakan Sebelum Menakut-nakuti
Sudah menjadi fitrah manusia lebih suka pada yang menyenangkan dan benci kepada yang menakutkan, maka selayaknya bagi para da’i untuk memulai dakwahnya dengan member harapan yang menarik , dan menggembirakan sebelum memberikan ancaman. Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Serulah manusia! Berilah kabar gembira dan janganlah membuat orang lari”.
Seorang da’i seharusnya memberikan targhib (kabar gembira) terlebih dahulu sebelum tarhib (ancaman). Mendorong beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut-nakuti dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan ilmu sebelum member peringatan kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu. Memotivasi untuk melaksanakan shalat tepat pada waktunya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya dosa menyepelakan dan  meninggalkan shalat.
Memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragamnya tabiat manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan dapat membuat hati menerima dengan lebih baik dan lega. Pemberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme seseorang.
Tahrib (ancaman) diberikan manakala ada perlawanan dan pembangkangan, guna menyadarkan dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut :
  
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”.(QS.Al-Hijr : 49-50)

Dari Abu Said al-Hudri : Rasulullah SAW bersabda :
“Dahulu para umat sebelum kamu ada seseorang yang membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian ia ingin bertobat , maka ia mencari orang yang alim….. kemudian ia bertanya : bahwa ia membunuh 99 orang, apakah ada jalan untuk bertaubat? Jawab orang alim itu “tidak”, maka ia segera membunuh orang alim itu hingga genap menjadi 100 orang apakah ada jalan taubat jawab si alim itu, ya ada dan siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat? Pergilah ke dusun itu karena disana banyak orang taat kepada Allah maka berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka dan jangan kembali ke negerimu karena tempat penjahat……. Dalam lanjutan hadis ini diterangkan bahwa pembunuh itu meninggal ditengah perjalanan dengan jarak lebih dekat kepada dusun yang baik dibandingkan  dengan jarak ke dusun yang jahat, lalu rohnya dipegang oleh malaikat rahmat”.

Betapa Rasulullah memberi peluang untuk mengharap rahmat dan tidak putus asa darinya meskipun begitu kelam masa lalu seseorang!

3.      Memudahkan , Tidak Mempersulit
Diantara prinsip yang menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah adalah mempermudahkan tidak mempersulit serta meringankan tidak memberatkan. Banyak nash al-Qur’an maupun as-Sunnah yang memberikan isyarat bahwa memudahkan itu lebih disukai Allah daripada mempersulit.

Allah SWT berfirman :
 Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa : 28)
Dalam Sahih Bukhari disebutkan ketika Rasulullah mengutus sahabatnya (untuk berdakwah) bersabda :
“Mudahkan jangan kalian mempersulit. Berikan kabar gembira jangan membuat mereka lari”.­

Dan pada hadis yang lain disebutkan “Tenangkan jangan kalian takut-takuti”.  Abu Hurairah pernah menggambarkan bahwa pernah seorang Arab kencing di Masjid dengan serta merta orang di sekelilingnya berdiri dan ingin memukulinya. Kemudian Rasulullah bersabda : “Tinggalkanlah dia, tuangkanlah air diatas kencingnya atau satu ember air. Sesumgguhnya aku diutus untuk mempermudah dan aku tidak diutus untuk mempersulit”.
Dari sayyidatian Aisyah ra. beliau berkata : Rasulullah tidak pernah memilih antara dua perkara sama sekali melainkan memilih yang paling mudah diantara keduanya selama tidak berdosa. Tetapi, jika ada dosa ketika memilih yang mudah, maka Rasulullah adalah paling jauh darinya.
Dari keterangan-keterangan diatas, kita lebih banyak membutuhkan pendekatan dakwah yang memudahkan dan menggembirakan daripada memberatkan dan menyulitkan. Apalagi dakwah itu ditujukan kepada mad’u yang baru memeluk Islam atau yang melakukan taubat.
Rasulullah pada tahap-tahap awal hanya memperkenalkan ajaran yang bersifat fardhu-fardhu saja. Bahkan Rasulullah menyayangkan Muadz bin Jabal karena ia memanjangkan shalat berjamaah. Beliau bertanya “Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz? Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz? Apakah kau ini pembuat fitnah, Hai Muadz? (HR. Bukhari)

4.      Memperhatikan Penahapan Beban dan Hukum
Untuk menjadikan aktivitas dakwah tidak memberatkan dan menawan hati mad’u, para da’i  harus memperhatikan prinsip hukum penahapan baik dalam amar ma’ruf maupun nahi mungkar. Dengan mengetahui bahwa manusia tidak senang untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaaan lain yang asing sama sekali. Maka dari itu al-Quran pun diturunkan perlahan, surat demi surat dan ayat demi ayat, dan kadang-kadang menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kearah mentaatinya serta bersiap-siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama untuk menerima hukum yang baru. Sebagaimana penahapan dalam hukum Islam, demikian pula aktivitas dakwah dijalankan.
Contoh dalam hal ini diantaranya adalah penerapan terhadap pelarangan khamr.  Minum khamr dan judi pada mulanya belum diharamkan dengan tegas tetapi disebutkan bahwa pada khamr dan judi terdapat dosa yang besar dan ada kegunaan bagi orang banyak (QS. Al-Baqarah : 219). Kemudian setelah jiwa mereka dapat menerima pertimbangan untung-ruginya minum khamr dan berjudi, maka turun lagi firman Allah SWT  dalam QS. Al- Maidah : 90-91 :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Penahapan dalam beban yang diperhatikan oleh Islam menjadikan ajarannya lebih bijaksana.  Ini juga terlihat didalam menangani sistem perbudakan yang saat Islam lahir merupakan system internasional. Jika pengikisan system ini dilakukan secara drastis pasti akan menimbulkan guncangan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, Islam menggunakan metode penahapan.


5.      Memperhatikan Psikologis Mad’u
Mengingat  bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologis mereka, setiap da’i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis mad’u.
Jika kita perhatikan perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di Makkah ataupun di Madinah tampaknya salah satu faktornya adalah perbedaan kondisi psikologis kelompok-kelompok yang di dakwahi.
Mohammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah”nya mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u ini bahwa : pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu”.
Seorang da’i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika da’i mencium adanya sikap memusuhi Islam dalam diri penerima dakwah,  maka denga alas an apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Da’i harus sebisa mungkin menghilangkan sikap permusuhan tersebut.
Selain itu, aspek psikologis juga berkaitan dengan seberapa jauh pengetahuan mad’u terhadap islam sebelumnya.

((Sumber : METODE DAKWAH . (M. Munir, S.Ag, MA) Jakarta :Kencana,2009))