Mengkaji hubungan
filsafat islam dengan filsafat yunani dapat dikatakan “gampang-gampang susah”.
Kesulitan terletak pada titik perbedaan yang nyata,yaitu doktrin keimanan.
Kemudahan dapat ditelusuri dari aspek sejarah kelahiran kedua ilmu
tersebut.Untuk itu,dalam pembahasan ini,kita akan mencoba menguraikan pola
hubungan kedua ilmu tersebut, paling tidak,secara garis besar terjadinya
hubungan itu akibat sejarah dan doktin keagamaan.
1.Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani:
Kajian Historis.
Kajian Historis.
Dilihat dari aspek sejarah, kelahiran filsafatIslam dilatarbelakangi
oleh adanya usaha penerjemahannaskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab
yang telah dilakukan sejak masa Klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah
filsuf besar muslim. Dunia Islam belahan timur yang berpusat di Baghdag, Irak
lebih dahulu melahirkan filsuf muslim daripada dunia Islam belahan barat yang
berpusat di Cordoba, Spanyol.
Memperkuat pernyataan di atas, Ahmad Salabidan Louis Ma’lul menguraikan
bahwa sejarah kebudayaan Islam mencatat, ilmu filsafat tidak diketahui oleh
orang-orang Islam, kecuali setelah masa daulah Abbasiah pertama 9132-232 H /
750-847M). ilmu ini kedunia islam melalui penerjemahan dari buku-buku filsafat
yunani yang telah tersebar di daerah-daerah laut putih seperti ; Iskandaria,
Anhakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-makmunyang dikenal sangat tertarik
pada kemerdekaan berfikir, yang berkuasa antara 198-218 H/ 813 – 833M) dan
mengadakan hubungan kenegaraan dengan raja-raja Romawi, Bizantium yang beribu
kota di Konstatinopel, yang juga dikenal kota “Al-Hikmah”, pusat ilmu Filsafat.
Dari kota ini, buku-buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa suryani. Kegiatan penerjemah
ini disertai pula dengan urain dan penjelasan seperlunya. Para cendekiawan
ketike itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi
dalam menjelaskan Islam, terutama akidah untuk melihat perlunya persesuaian
antara wahyu dan akal.
Tentu saja, aktifitas para filusuf muslim di atas bersentuhan dengan
penafsiran Alquran. Al-kindi,misalnya, yang dikenal sebagai bapak filusuf
muslim, berpendapat bahwa untuk memahami Alquran dengan benar, isinya harus
ditafsirkan secara rasional bahkan filosofis. Al-kindi berpendapat bahwa
Alquran mengandung ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan
peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang lebih dalam dibalik
tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya bulan, pasang surutnya air laut
dan seterusnya. Ajakan ini seruan untuk berfilsafat seperti halnya Al-kindi,
Ibnu Rusyd pun berpendapat demikian. Lebih jauh, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
tujuan berfilsat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar.
Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama sebab tujuan agama pun tidak lain
adalah menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukan jalan
yang benar bagi kehidupan praktis
Pengaruh khas
neoplatonisme dalam dunia pemikiran islam, seperti yang kala muncul dengan
jelas dalam berbagai paham tassawuf. Ibnu sina, dapat dikatakan sebagai
neoplatonis disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan rohani menuju tuhan
seperti yang di muat dalam kitabnya, Isharat.
Memang,neplatonisme yang spiritualistic itu banyak mendapatkan jalan masuk
kedalam ajaran-ajaran sufi, dan yang paling menonjol adalah yang ada dalam
ajaran sekelompok orang muslim yang menamakan diri mereka ikhwan ash-Shafah.
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar
aristoteanisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum muslimin banyak
memanfaatkan metode berrfikir logis menurut logika formal (logisme)
aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jaunya pengaruh ajaran aristoteles ini
yang populernya ilmu mantiq di kalangan umat islam.
Akan tetapi, mustahil
melihat filsafat islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun
terdapat variasi, semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber
ilmu pengetahuan, dank arena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang
kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan risalahnya yang terkenal,
Istbat An-Nubuwat. Pra filusuf muslim juga membahas masalah baik dan buruk,
pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan
keterpaksaan (determinisme), asal-usul penciptaan dan seterusnya, yang semua
itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat
hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif
bahwa filsafat Yunani memberi modal dasar dalam penulusuran berpikir yang
ditopang sejatinya oleh Al-quran sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan
bawhwa sumber Alquran secara azali telah ada maka filsafat Yunani hanya sebagai
pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada di dalam Alquran sebagai desain
besar Allah SWT. Akan tetapi, persoalan yang muncul adalah orisinalitas
filsafat Islam, apakah ia mengekor atas pelopor.
Tidak adanya orisinalitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan
Islam klasik tidak perlu mengherankan. Sebab , para filusuf klasik Islam,
betapa pun pengembara intelektualnya adalah orang-orang yang religious.
Mungkin, tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima
oleh para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada
masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern, yang umumnya justru menolak atau
meragukan agama. Para filusuf muslim klasik ini berfilsafat tetap karena dorongan keagaman, malahan
seringkali justru untuk membela dan melindungi keimanan agama. Karena religiusitas
mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan terjadi hanya dalam batas-bats yang
masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu sendiri, bagi mereka, telah cukup
rasional sebagaimana dituntut oleh filsafat ini. Ini ditambah lagi dengan
polemik-polemik yang amat mendasar dan mendalam antara para filsuf dan ulama
keagamaan, seperti yang terjadi secara posthumous antara Al-Ghazali (wafat
1111) dan Ibn Rusyd (wafat 1198). Polemik itu merupakan salah satu debat yang
paling berpengaruh dan mengasyikkan dalam sejarah pemikiran agama.
Pernyataan-pernyataan di atas dikuatkan pula oleh Abdul Mu’im bahwa
Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam membicarakan filsafat,
berbeda halnya dengan Kristen. Dengan demikian, orang Arablah yang memberikan
keutamaan dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia.
Lebih terbuka lagi, dinyatakan oleh O’Leray, “sekarang kita mengikuti jalannya
filsafat Hellenis. Dari Yunani, ia mengalir ke dalam pengetahuan Syria Lama.
Kemudian , ia berjalan dari orang-orang syiria ke dalam dunia kaum muslimin
yang berbahasa Arab. Orang-orang Arab kemudian memasukkannya kembali, jauh ke
tengah-tengah dunia barat”.
Sampai di sini, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan
filsaf Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat
yang bercorak Islam yang disebarkan ke berbagai dunia Barat.
2.Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani kajian Doktrin.
Ajakan al qu’ran untuk
berfilsafat, seperti yang diungkapkan oleh kedua filsuf muslim diatas, jika
ditelusuri di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, memang banyak yang menyatakan
demikian, di antaranya Allah berfirman yang artinya :
“sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi,silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yanngAllah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu, Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)nya dan Dia tebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (kesanaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkannya.’’ (Q.S. Al-Baqarah (2): 164)
“Dan dialah
yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agara kamu menjadikannya petunjuk dalam
kegelapan di darat dan di laut. Sesungghnya kami telah menjelaskan tanda-tanda
kebesaran (kami) keada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S.
Al-An’am (6): 97)
“Alif laam
miim raa.Ini adalah ayat-ayat Al-kitab (Al-qur’an). Dan kitab yang diturunkan
kepadamu dari tuhanmu itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman
(kepadanya).” (Q.S. Ar-Ra’ad (13): 1)
Uraian Al-Qur’an diatas
menjelaskan bahwa ajaran Islam,akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak
dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,tetapi
juga dalam istilah Islam rasionalis atau rasionalis dalam Islam itu percaya
kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu? Atau membuat akal lebih
tinggi dari pada wahyu dapat dibatalkan oleh akal? Dalam pemikiran Islam, baik
dalam filsafat atau ilmu kalam, apalagi dalam bidang ilmu fiqih , akal tidak
pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan
sekali-kali tidak menentang wahyu.Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks
wahyu sesuai dengan kecendrungan dan kesanggupan pemberi interprestasi.
0 komentar:
Posting Komentar