1.
Mencari
Titik Temu atau Sisi Kesamaan
Pola dakwah Rasulullah sebelum tiba
masanya hijriah, tidak pernah menyeru umatnya sendiri atau ahli kitab dengan
sebutan orang-orang kafir, musyrik atau munafik, melainkan dengan seruan yang
sama dengan dirinya yaa ayyuhan naas
“wahai manusia” atau ya qoumii,
“wahai kaumku”. Bahkan untuk orang-orang munafik, sebelum jatuhnya kota Makkah
Nabi SAW.menggunakan panggilan yaa
ayyuhal ladziina aamanuu, “hai orang-orang yang beriman”,dan sama sekali
tidak pernah mengungkapkan secara terang-terangan kemunafikan mereka dengan
menggunakan panggilan yaa ayyuhal munafiqun. “Hai orang munafiq”. Akan tetapi,
setelah sekian lama berdakwah dengan kelembutan dan ayat Ilahi sia-sia
menjelaskan kebenaran kepada mereka dan mereka tidak saja menolak kebenaran,
tetapi hingga bersepakat untuk membunuh Rasulullah. Baru Rasulullah menyeru
dengan kata-kata tegas dan jelas. “Hai orang-orang kafir” dan menyatakan
berlepas tangan dari mereka dan agama mereka. “Katakanlah orang-orang kafir… bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” 1
Contoh
lain dari model titik temu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.dengan
para ahli kitab terdapat dalam surah Ali Imran : 64 :
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)".
2.
Menggembirakan Sebelum Menakut-nakuti
Sudah
menjadi fitrah manusia lebih suka pada yang menyenangkan dan benci kepada yang
menakutkan, maka selayaknya bagi para da’i untuk memulai dakwahnya dengan
member harapan yang menarik , dan menggembirakan sebelum memberikan ancaman.
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda “Serulah manusia! Berilah kabar gembira dan janganlah
membuat orang lari”.
Seorang
da’i seharusnya memberikan targhib
(kabar gembira) terlebih dahulu sebelum tarhib
(ancaman). Mendorong beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut-nakuti
dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan ilmu sebelum member
peringatan kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu. Memotivasi
untuk melaksanakan shalat tepat pada waktunya sebelum memberikan peringatan
tentang besarnya dosa menyepelakan dan
meninggalkan shalat.
Memang
tidak dapat menafikan manfaat tarhib,
karena beragamnya tabiat manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih
dahulu sebelum peringatan dapat membuat hati menerima dengan lebih baik dan
lega. Pemberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme seseorang.
Tahrib (ancaman) diberikan
manakala ada perlawanan dan pembangkangan, guna menyadarkan dan
mengembalikannya pada jalan yang benar. Seperti firman Allah SWT sebagai
berikut :
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah
azab yang sangat pedih”.(QS.Al-Hijr : 49-50)
Dari
Abu Said al-Hudri : Rasulullah SAW bersabda :
“Dahulu para umat sebelum kamu ada seseorang yang membunuh sembilan
puluh sembilan orang. Kemudian ia ingin bertobat , maka ia mencari orang yang
alim…..
kemudian ia bertanya : bahwa ia membunuh 99 orang, apakah ada jalan untuk
bertaubat? Jawab orang alim itu “tidak”, maka ia segera membunuh orang alim itu
hingga genap menjadi 100 orang apakah ada jalan taubat jawab si alim itu, ya
ada dan siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat? Pergilah ke dusun
itu karena disana banyak orang taat kepada Allah maka berbuatlah sebagaimana
perbuatan mereka dan jangan kembali ke negerimu karena tempat penjahat……2.
Dalam lanjutan hadis ini diterangkan bahwa pembunuh itu meninggal ditengah
perjalanan dengan jarak lebih dekat kepada dusun yang baik dibandingkan dengan jarak ke dusun yang jahat, lalu rohnya
dipegang oleh malaikat rahmat”.
Betapa
Rasulullah memberi peluang untuk mengharap rahmat dan tidak putus asa darinya
meskipun begitu kelam masa lalu seseorang!
3.
Memudahkan
, Tidak Mempersulit
Diantara prinsip
yang menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah adalah
mempermudahkan tidak mempersulit serta meringankan tidak memberatkan. Banyak
nash al-Qur’an maupun as-Sunnah yang memberikan isyarat bahwa memudahkan itu
lebih disukai Allah daripada mempersulit.
Allah
SWT berfirman :
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah. (QS. An-Nisa : 28)
Dalam
Sahih Bukhari disebutkan ketika Rasulullah mengutus sahabatnya (untuk
berdakwah) bersabda :
“Mudahkan jangan kalian
mempersulit. Berikan kabar gembira jangan membuat mereka lari”.
Dan
pada hadis yang lain disebutkan “Tenangkan jangan kalian takut-takuti”. Abu Hurairah pernah menggambarkan bahwa
pernah seorang Arab kencing di Masjid dengan serta merta orang di sekelilingnya
berdiri dan ingin memukulinya. Kemudian Rasulullah bersabda : “Tinggalkanlah
dia, tuangkanlah air diatas kencingnya atau satu ember air. Sesumgguhnya aku
diutus untuk mempermudah dan aku tidak diutus untuk mempersulit”.
Dari
sayyidatian Aisyah ra. beliau berkata : Rasulullah
tidak pernah memilih antara dua perkara sama sekali melainkan memilih yang
paling mudah diantara keduanya selama tidak berdosa. Tetapi, jika ada dosa
ketika memilih yang mudah, maka Rasulullah adalah paling jauh darinya.
Dari
keterangan-keterangan diatas, kita lebih banyak membutuhkan pendekatan dakwah
yang memudahkan dan menggembirakan daripada memberatkan dan menyulitkan.
Apalagi dakwah itu ditujukan kepada mad’u
yang baru memeluk Islam atau yang melakukan taubat.
Rasulullah
pada tahap-tahap awal hanya memperkenalkan ajaran yang bersifat fardhu-fardhu
saja. Bahkan Rasulullah menyayangkan Muadz bin Jabal karena ia memanjangkan
shalat berjamaah. Beliau bertanya “Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz?
Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz? Apakah kau ini pembuat fitnah, Hai
Muadz? (HR. Bukhari)
4.
Memperhatikan Penahapan Beban dan Hukum
Untuk
menjadikan aktivitas dakwah tidak memberatkan dan menawan hati mad’u, para da’i harus memperhatikan prinsip hukum penahapan
baik dalam amar ma’ruf maupun nahi mungkar. Dengan mengetahui bahwa
manusia tidak senang untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan
kepada keadaaan lain yang asing sama sekali. Maka dari itu al-Quran pun
diturunkan perlahan, surat demi surat dan ayat demi ayat, dan kadang-kadang menurut
peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian
lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kearah mentaatinya serta
bersiap-siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama untuk menerima hukum
yang baru. Sebagaimana penahapan dalam hukum Islam, demikian pula aktivitas
dakwah dijalankan.
Contoh
dalam hal ini diantaranya adalah penerapan terhadap pelarangan khamr.
Minum khamr dan judi pada
mulanya belum diharamkan dengan tegas tetapi disebutkan bahwa pada khamr dan judi terdapat dosa yang besar
dan ada kegunaan bagi orang banyak (QS. Al-Baqarah : 219). Kemudian setelah
jiwa mereka dapat menerima pertimbangan untung-ruginya minum khamr dan berjudi, maka turun lagi
firman Allah SWT dalam QS. Al- Maidah :
90-91 :
Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).
Penahapan
dalam beban yang diperhatikan oleh Islam menjadikan ajarannya lebih
bijaksana. Ini juga terlihat didalam
menangani sistem perbudakan yang saat Islam lahir merupakan system
internasional. Jika pengikisan system ini dilakukan secara drastis pasti akan
menimbulkan guncangan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, Islam menggunakan metode
penahapan.
5.
Memperhatikan Psikologis Mad’u
Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi
da’i dan berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi
psikologis mereka, setiap da’i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas
dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis mad’u.
Jika kita perhatikan perbedaan gaya
dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di Makkah ataupun di Madinah
tampaknya salah satu faktornya adalah perbedaan kondisi psikologis
kelompok-kelompok yang di dakwahi.
Mohammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah”nya
mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u ini bahwa : pokok persoalan bagi
seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif
dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana
tertentu”.
Seorang da’i harus memperhatikan
kedudukan sosial penerima dakwah. Jika da’i mencium adanya sikap memusuhi Islam
dalam diri penerima dakwah, maka denga
alas an apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Da’i harus sebisa mungkin
menghilangkan sikap permusuhan tersebut.
Selain itu, aspek psikologis juga
berkaitan dengan seberapa jauh pengetahuan mad’u
terhadap islam sebelumnya.
((Sumber : METODE DAKWAH . (M. Munir, S.Ag, MA) Jakarta :Kencana,2009))
(Y)
BalasHapus