Jumat, 06 Desember 2013

Prinspi-Prinsip Dakwah

07.27 Posted by luthfilaziman93@blogspot.com 1 comment


1.      Mencari Titik Temu atau Sisi Kesamaan
Pola dakwah Rasulullah sebelum tiba masanya hijriah, tidak pernah menyeru umatnya sendiri atau ahli kitab dengan sebutan orang-orang kafir, musyrik atau munafik, melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya yaa ayyuhan naas “wahai manusia” atau ya qoumii, “wahai kaumku”. Bahkan untuk orang-orang munafik, sebelum jatuhnya kota Makkah Nabi SAW.menggunakan panggilan yaa ayyuhal ladziina aamanuu, “hai orang-orang yang beriman”,dan sama sekali tidak pernah mengungkapkan secara terang-terangan kemunafikan mereka dengan menggunakan panggilan yaa ayyuhal munafiqun. “Hai orang munafiq”. Akan tetapi, setelah sekian lama berdakwah dengan kelembutan dan ayat Ilahi sia-sia menjelaskan kebenaran kepada mereka dan mereka tidak saja menolak kebenaran, tetapi hingga bersepakat untuk membunuh Rasulullah. Baru Rasulullah menyeru dengan kata-kata tegas dan jelas.  “Hai orang-orang kafir” dan menyatakan berlepas tangan dari mereka dan agama mereka. “Katakanlah orang-orang kafir… bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” ­­1
Contoh lain dari model titik temu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.dengan para ahli kitab terdapat dalam surah Ali Imran : 64 :

 Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

2.      Menggembirakan Sebelum Menakut-nakuti
Sudah menjadi fitrah manusia lebih suka pada yang menyenangkan dan benci kepada yang menakutkan, maka selayaknya bagi para da’i untuk memulai dakwahnya dengan member harapan yang menarik , dan menggembirakan sebelum memberikan ancaman. Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Musa ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “Serulah manusia! Berilah kabar gembira dan janganlah membuat orang lari”.
Seorang da’i seharusnya memberikan targhib (kabar gembira) terlebih dahulu sebelum tarhib (ancaman). Mendorong beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut-nakuti dengan bahaya riya. Memberi tahu keutamaan menyebarkan ilmu sebelum member peringatan kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu. Memotivasi untuk melaksanakan shalat tepat pada waktunya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya dosa menyepelakan dan  meninggalkan shalat.
Memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib, karena beragamnya tabiat manusia. Akan tetapi, memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan dapat membuat hati menerima dengan lebih baik dan lega. Pemberian motivasi ini bisa menumbuhkan harapan dan optimisme seseorang.
Tahrib (ancaman) diberikan manakala ada perlawanan dan pembangkangan, guna menyadarkan dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Seperti firman Allah SWT sebagai berikut :
  
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”.(QS.Al-Hijr : 49-50)

Dari Abu Said al-Hudri : Rasulullah SAW bersabda :
“Dahulu para umat sebelum kamu ada seseorang yang membunuh sembilan puluh sembilan orang. Kemudian ia ingin bertobat , maka ia mencari orang yang alim….. kemudian ia bertanya : bahwa ia membunuh 99 orang, apakah ada jalan untuk bertaubat? Jawab orang alim itu “tidak”, maka ia segera membunuh orang alim itu hingga genap menjadi 100 orang apakah ada jalan taubat jawab si alim itu, ya ada dan siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat? Pergilah ke dusun itu karena disana banyak orang taat kepada Allah maka berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka dan jangan kembali ke negerimu karena tempat penjahat……. Dalam lanjutan hadis ini diterangkan bahwa pembunuh itu meninggal ditengah perjalanan dengan jarak lebih dekat kepada dusun yang baik dibandingkan  dengan jarak ke dusun yang jahat, lalu rohnya dipegang oleh malaikat rahmat”.

Betapa Rasulullah memberi peluang untuk mengharap rahmat dan tidak putus asa darinya meskipun begitu kelam masa lalu seseorang!

3.      Memudahkan , Tidak Mempersulit
Diantara prinsip yang menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah adalah mempermudahkan tidak mempersulit serta meringankan tidak memberatkan. Banyak nash al-Qur’an maupun as-Sunnah yang memberikan isyarat bahwa memudahkan itu lebih disukai Allah daripada mempersulit.

Allah SWT berfirman :
 Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa : 28)
Dalam Sahih Bukhari disebutkan ketika Rasulullah mengutus sahabatnya (untuk berdakwah) bersabda :
“Mudahkan jangan kalian mempersulit. Berikan kabar gembira jangan membuat mereka lari”.­

Dan pada hadis yang lain disebutkan “Tenangkan jangan kalian takut-takuti”.  Abu Hurairah pernah menggambarkan bahwa pernah seorang Arab kencing di Masjid dengan serta merta orang di sekelilingnya berdiri dan ingin memukulinya. Kemudian Rasulullah bersabda : “Tinggalkanlah dia, tuangkanlah air diatas kencingnya atau satu ember air. Sesumgguhnya aku diutus untuk mempermudah dan aku tidak diutus untuk mempersulit”.
Dari sayyidatian Aisyah ra. beliau berkata : Rasulullah tidak pernah memilih antara dua perkara sama sekali melainkan memilih yang paling mudah diantara keduanya selama tidak berdosa. Tetapi, jika ada dosa ketika memilih yang mudah, maka Rasulullah adalah paling jauh darinya.
Dari keterangan-keterangan diatas, kita lebih banyak membutuhkan pendekatan dakwah yang memudahkan dan menggembirakan daripada memberatkan dan menyulitkan. Apalagi dakwah itu ditujukan kepada mad’u yang baru memeluk Islam atau yang melakukan taubat.
Rasulullah pada tahap-tahap awal hanya memperkenalkan ajaran yang bersifat fardhu-fardhu saja. Bahkan Rasulullah menyayangkan Muadz bin Jabal karena ia memanjangkan shalat berjamaah. Beliau bertanya “Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz? Apakah aku ini pembuat fitnah, hai Muadz? Apakah kau ini pembuat fitnah, Hai Muadz? (HR. Bukhari)

4.      Memperhatikan Penahapan Beban dan Hukum
Untuk menjadikan aktivitas dakwah tidak memberatkan dan menawan hati mad’u, para da’i  harus memperhatikan prinsip hukum penahapan baik dalam amar ma’ruf maupun nahi mungkar. Dengan mengetahui bahwa manusia tidak senang untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan kepada keadaaan lain yang asing sama sekali. Maka dari itu al-Quran pun diturunkan perlahan, surat demi surat dan ayat demi ayat, dan kadang-kadang menurut peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong kearah mentaatinya serta bersiap-siap untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama untuk menerima hukum yang baru. Sebagaimana penahapan dalam hukum Islam, demikian pula aktivitas dakwah dijalankan.
Contoh dalam hal ini diantaranya adalah penerapan terhadap pelarangan khamr.  Minum khamr dan judi pada mulanya belum diharamkan dengan tegas tetapi disebutkan bahwa pada khamr dan judi terdapat dosa yang besar dan ada kegunaan bagi orang banyak (QS. Al-Baqarah : 219). Kemudian setelah jiwa mereka dapat menerima pertimbangan untung-ruginya minum khamr dan berjudi, maka turun lagi firman Allah SWT  dalam QS. Al- Maidah : 90-91 :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Penahapan dalam beban yang diperhatikan oleh Islam menjadikan ajarannya lebih bijaksana.  Ini juga terlihat didalam menangani sistem perbudakan yang saat Islam lahir merupakan system internasional. Jika pengikisan system ini dilakukan secara drastis pasti akan menimbulkan guncangan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, Islam menggunakan metode penahapan.


5.      Memperhatikan Psikologis Mad’u
Mengingat  bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia dengan mereka serta berbagai kondisi psikologis mereka, setiap da’i yang mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis mad’u.
Jika kita perhatikan perbedaan gaya dakwah nabi sebelum dan sesudah hijrah, sewaktu di Makkah ataupun di Madinah tampaknya salah satu faktornya adalah perbedaan kondisi psikologis kelompok-kelompok yang di dakwahi.
Mohammad Natsir dalam “Fiqh Dakwah”nya mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u ini bahwa : pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu”.
Seorang da’i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika da’i mencium adanya sikap memusuhi Islam dalam diri penerima dakwah,  maka denga alas an apapun dia tidak boleh memperburuk situasi. Da’i harus sebisa mungkin menghilangkan sikap permusuhan tersebut.
Selain itu, aspek psikologis juga berkaitan dengan seberapa jauh pengetahuan mad’u terhadap islam sebelumnya.

((Sumber : METODE DAKWAH . (M. Munir, S.Ag, MA) Jakarta :Kencana,2009))

1 komentar: